Siang itu, matahari cukup garang menyinari bumi. Seorang anak muda menenteng sebuah tas dan kantong berisi beras. Peluh mengucur. Namun tak sedikitpun menyurutkan langkahnya. Tiba di sebuah gang kampung dia agak ragu. ini ke kiri apa kanan ???. ditengah keraguanya, dia melihat bapak setengah baya sedang menemani bermain seorang anak, cuma pake kaos oblong dan bersarung. “mungkin itu salah satu khadam (pembantu) kiyai yang menemani gus (sebutan untuk putra Kiyai) bermain…” Guman pemuda tadi dalam hati. Segera dia menghampiri si-bapak yang duduk. “Pak, pesantren anu itu yang mana…?”.dengan nada datar dan kondisi berdiri. “O, mas lurus saja. Itu sudah keliatan bangunannya”. “makasih pak”. Hati berbunga, dengan senyum mengembang dia melangkah. “alhamdulillah, akhirnya aku bisa sampai di pesantren”. Di depan pesantren dia berhenti sejenak, bingung menyelemuti hatinya. Mana yang rumah Pak Kiyai, untung seorang santri lewat, lalu diapun bertanya. Setelah diberi penjelasan, dengan hati berdebar pemuda itu melangkah menuju sebuah bangunan yang sederhana.
“Assalamu’alaikum….”. “Wa’alaikumsalam… silakan masuk. Tunggu sebentar….” terdengar jawaban dari dalam. Dengan penuh tawadlu (sopan) dia masuk, duduk dan menundukkan kepala. Terdengar suara kaki melangkah. Dag….dig… dug… irama jantung tidak karuan. Segala keberanian dan kata dia kumpulkan untuk mengungkapkan tujuannya kalau sudah berhadapan dengan Kiai. begitu tegangnya, sehingga pemuda tadi tidak menyadari bahwa Kiyai sudah duduk di depanya. “Rumahnya mana..??” suara pelan dan penuh wibawa menyadarkan si pemuda tentang kehadiran Kiyai. “Dari kota surabaya Yai” jawabnya dengan masih menunduk tanpa berani menatap wajah Kiyai*. ( *ini adalah ciri khas santri pesantren NU). Karena sebelumnya belum tahu dan kenal wajah sang Kiai, sedikit memberanikan diri dia melirik kiai tadi. Deg… deg… deg.. jantung bertambah cepat berpacu, keringat dingin mulai mengucur, dia pun merasa lemas. “Astaghfirullah, ternyata yang aku kira khodam tadi adalah Kiyai yang mengasuh pesantren ini”.
ini juga tipikal kiai NU, biasanya dalam keseharian tidak berpakain priyayi. jadi sering salah alamat. Kiai dikira santri dan santri dikira kiai.
makasih,
*lagi tersenyum simpul*
makasih.. mampir ke blogku ya..
sama2 mbak. OK. barusan ke TeKaPe